Berdasarkan amanat Undang-Undang No 23 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat, tugas pokok BAZNAS adalah menjalankan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan serta pertanggunjawaban terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut, secara struktural Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS pusat) melakukan koordinasi dengan BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kota/Kabupaten. Dalam konstelasi hubungan seperti digambarkan di atas, BAZNAS memiliki peran strategis yang penting dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali masyarakat yang tinggal di kawasan Indonesia Timur, karena sejatinya keberadaan BAZNAS adalah untuk dirasakan nilai kebermanfaatannya oleh para mustahik dari Sabang sampai Merauke.
Usia Republik ini sudah mencapai 68 tahun, namun belum semua rakyat Indonesia benar-benar merasakan kemerdekaan. Hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Indonesia Timur. Indikator sederhananya, pembangunan di kawasan Indonesia Timur jauh tertinggal dibanding dengan di kawasan Indonesia bagian Barat dan Indonesia Tengah. Hal ini diakui oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Prof. Dr. Emil Salim yang menyatakan bahwa Pembangunan Indonesia masih berfokus di darat, karena darat masih mengarah Jawa, Sumatera dan Bali. Ini menghancurkan negara kesatuan. Indonesia bukan daratan saja, tapi kelautan dari Sabang sampai Merauke. Secara definitif, dalam Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II), wilayah kawasan timur Indonesia (KTI) meliputi 13 provinsi di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Timur.
Dalam masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah telah menetapkan 40 proyek yang potensial untuk digarap dan rencanakan akan di ground breaking pada 2017. Dari 40 proyek tersebut, 10 proyek berada di koridor Jawa, 12 Proyek berada di koridor Sumatera, 7 proyek di koridor Sulawesi, 5 proyek di koridor Kalimantan, 3 proyek di koridor Bali Nusa Tenggara, dan di koridor terjauh dari Ibu kota yakni Papua-Kepulauan Maluku hanya akan dibangun 2 proyek. Hal ini semakin menegaskan bahwa development oriented pemerintah masih tidak pro pada Kawasan Timur Indonesia.
Bagaimana dengan peran BAZNAS? BAZNAS Pusat sebagai koordinator BAZNAS se-Indonesia semakin dituntut untuk mampu menerjemahkan dan memainkan peranan penting dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia di Kawasan Timur dari sisi penanggulangan kemiskinan. Peranan BAZNAS sangat strategis dalam proses mewujudkan masyarakat (muslim-mustahik) yang mandiri dan sejahtera. Hal ini tercermin dalam salah satu program pemberian 5000 paket bantuan BAZNAS Pusat bersama Ekspedisi Bhakesra (Kemenko Kesra) pada tahun 2013 lalu. Di mana terdapat 5 titik sasaran peneriman paket bantuan di Provinsi NTT, yaitu Pulau Kayuadi, Pulau Alor, Pulau Rote, Pulau Sumba, Pulau Komodo (Labuan Bajo). Beberapa pulau tersebut relatif masuk kedalam kawasan desa/daerah tertinggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, dan dari kesemua Pulau, hanya Pulau Kayuadi yang tidak terdapat perwakilan kantor Baznas Kabupaten. Artinya, BAZNAS memiliki kekuatan hingga sampai pada titik terjauh di negara kepulauan ini dan dapat menjangkau lokasi yang tidak dapat dijangkau oleh pihak lain.
Melihat kondisi tersebut, sesungguhnya BAZNAS memiliki peran strategis dalam mengintegrasikan proses pembangunan (peningkatan) kualitas hidup masyarakat Kawasan Timur Indonesia. Maka tidak seyogyanya apabila dalam menjalankan programnya, BAZNAS terpaku pada alur kebijakan pemerintah yang pro Jawa dan Sumatera, namun bukan berarti juga BAZNAS harus mengambil jalan yang bertolak-belakang dengan kebijakan pemerintah. Pada titik ini, BAZNAS harus mampu memainkan peran sebagai pelengkap dan alternatif pemberi solusi atas kondisi yang ada. Sampai pada titik ini, BAZNAS harus memiliki kajian yang mendalam terhadap efektifitas dan efisiensi program pemerintah dalam pembangunan (kualitas) masyarakat Indonesia sebagai acuan awal dalam melakukan program, agar tidak terjadi penumpukan dan ketidakefektifan program.
Dalam memainkan peran strategis tersebut, tentu BAZNAS memiliki berbagai kendala, di antaranya minimnya penghimpunan ZIS BAZNAS Provinsi dan Kota/Kabupaten, rendahnya kualitas SDM (Amil) BAZNAS daerah dan jarak yang jauh dan waktu tempuh yang lama untuk sampai ke lokasi (BAZNAS daerah). Dengan berbagai kendala tersebut, seharusnya tidak menjadikan BAZNAS malah mengalihkan perhatian (lagi-lagi) kepada masyarakat di Kawasan Indonesia Barat. Kecenderungan muzakki/donatur/mitra yang menginginkan program berjalan di sekitar Jawa dan Sumatera tidak harus menjadikan BAZNAS tidak memiliki kemandirian dalam menentukan skala prioritas dan wilayah, sepanjang tidak melampaui ketentuan syariah. Namun justru dapat menjadikan BAZNAS leading dengan posisi tawar yang kuat untuk mendorong dan merekomendasikan program penyaluran di Kawasan Indonesia Timur.
Jika kendala utamanya adalah minimnya penghimpunan ZIS dan terbatasnya kualitas dan kuantitas SDM (amil) BAZNAS Daerah, maka bukankah seharusnya pada titik ini BAZNAS hadir dengan program yang smart untuk menangani 2 masalah utama tersebut? Bukan justru mengalihkan perhatian (prioritas) dan meninggalkan begitu saja kondisi yang sudah berlarut-larut tersebut.
Karena begitu malu rasanya, dengan usia yang telah menginjak 13 tahun, namun program kegiatan BAZNAS masih saja berputar pada Pulau Jawa-Sumatera dan sebagian kecil Kalimatan-Sulawesi-Bali-NTB. Lantas bagaimana ingin membangun dan menguatkan lembaga dan sistem perzakatan nasional, jika dalam proses penguatan internal BAZNAS daerah saja masih berjalan ditempat? Maka, sampai pada titik ini, mari kita rekonstruksi paradigma program penyaluran agar label nasional memang pantas kita kenakan.
*Penulis adalah Amil BAZNAS (2013-2014)